Oleh : Sintia Rahayaan*
MENGGALI MAKAM ORDE BARU
Negara kesatuan republik Indonesia sejak dideklarasikan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945 diakui oleh perserikatan bangsa-bangsa sebagai Negara yang berhasil memutus tali penjajahan kolonialisme sejak berabad-abad lamanya.
Deklarasi Kemerdekaan itu, sebagai tanda bahwa Indonesia berhasil memutuskan rantai penjajahan yang tidak terlepas dari peran kedua tokohnya, yakni bapak Ir. Soekarno dan Drs, mohammad hatta yang
merupakan figur pemimpin pertama di untuk membawa indonesia memasuki dunia baru dengan konsep besar perbaikan baik secara infrastruktur maupun suprastruktur melalui sepak terjang yang sedemikian besarnya.
Tahun-tahun berlalu, sistem pemerintahan berkembang mengalami perubahan. Indonesia bergandeng tangan dengan sebuah sistem pemerintahan yang diktator serta militeristik. Seorang panglima dikala, Soeharto melalui sidang istimewa MPRS pada 1967 pada akhirnya dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai zaman ORBA (Orde Baru).
Di zaman ini segala macam kebebasan dikekang, baik kebebasan berserikat, mengeluarkan pendapat, beragama, dan lain lain. Masih teringat jelas dalam memori bangsa ini, Kritik di bungkam sedemikian
hebatnya hingga tidak ada kebebasan yang di rasakan kala itu. Kekuasaan absolut dipegang oleh penguasa dengan kontrol penuh berdasarkan otoritasnya.
Pemerintahan yang berjalan atas arogansi soeharto kala itu, membuat krisis di sektor ekonomi, politik dan hukum. Pengadilan dibajak oleh presiden dengan mengeluarkan kebijakan undang-undang, sehingga praktek KKN dilanggengkan sedemikian rupa dan pertumbuhan ekomoni tidak merata di setiap daerah.
Hukum yang seharusnya menjadi panglima, namun menjadi perisai untuk dapat melindungi penguasa, rentetan penyelewengan birokrasi, saat itu di seperti menjadi anugrah yang diberikan dari sang pencipta kepada orang-orang tertentu.
KONTESTASI DEMOKRASI
Kontestasi demokrasi adalah hajat nasional yang di nantikan oleh semua masyarakat Indonesia, sebagai negara hukum sebagaimana terlampir dalam undang-undang pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tentunya, sebagai Negara hukum maka kontestasi adalah upaya konkrit untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih, serta dipilih sebagaimana terlampir dalam UU pemilu dan hal ini menjadi antisipasi untuk membatasi kekuasan dalam sebuah rezim tertentu.
Namun ironinya adalah dramatisasi yang terjadi justru membuat muak publik dari aspek hukum dan politik, ketika hasil putusan Mahkamah konstitusi (MK). terkait usia calon wakil presiden yang dinilai
cacat hukum, sehingga menghasilkan hasil anak haram konstitusi yang akan bertarung pada 14 februari mendatang (baca: Pemilu).
Meski rentetan penolakan publik sedemikian kencangnya, namun siapa sangka penolakan tersebut nyaris
digubris dan pada tanggal 23 Oktober 2023 hasil produk hukum tersebut menjadi catatan tersendiri kepada public, sebagai produk yang secara nyata mencederai konstitusi dan bertebaran isu dinasti politik, sebab terindikasi terjadi intervensi oleh pengaruh kekuasaan yang pada notabenenya adalah mempunyai hubungan emosional yang cukup erat dengan calon kandidat tersebut. Sedemikian hebatnya, maka secara sederhana penguasa mempunyai andil yang cukup signifikan dalam memanipulasi produk hukum.
Masalah lainnya, seperti Korupsi merajalela di mana-mana, namun hukuman yang tidak sesuai ganjaran perbuatan. Hal demikian, semakin membuka gerbang utama untuk koruptor lain. Olehnya itu, publik menilai rezim yang memimpin sekarang terjadi kebocoran yang cukup besar pada aspek hukum degradasi pada sektor politik juga mengalami hal demikian, sehingga ekonomi juga ikut membengkak dalam hal ini.
Sedangkan pada posisi yang bedebah antitesa pemimpin berikutnya nyaris terlihat pada calon kandidat tertentu, yang merupakan sebuah keniscayaan akan melanjutkan perjuangan dari pemimpin sebelumnya, Ketika terjadi penolakan publik justru ada sebuah kondisi mengherankan, yakni masyarakat diancam dan dikapitalisasi secara diam-diam oleh oknum tertentu bahkan ketika menyampaikan kebenaran yang objektif justru menuai asumsi bahwa tidak pro terhadap penguasa.
Kontestasi demokrasi sebagai hajat nasional yang di nantikan oleh semua masyarakat Indonesia, sebagaimana Negara hukum yang termaktub dalam UUD Pasal 1 ayat (3) pasal 1 ayat 3. Sebagai Negara Hukum, maka kontestasi adalah upaya konkret untuk memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih serta di pilih sebagaimana termaktub dalam UU pemilu pasal 43 ayat (1) dan (2) undang-undang nomor 39 tahun 1999,dan sebagai antisipasi untuk membatasi kekuasan dalam sebuah rezim tertentu.
Namun ironinya adalah dramatisasi yang terjadi justru membuat muak publik dari aspek hukum dan politik, ketika hasil putusan Mahkamah konstitusi (MK). Terkait syarat pendaftaran calon presiden dan
wakil presiden yang di nilai cacat hukum dan terindikasi kentalnya politik hukum yang sedemikian kuat, sehingga menghasilkan hasil anak haram konstitusi dari salah satu calon wakil presiden tertentu,kiranya hal demikian sudah menjadi rahasia umum belakangan ini, dan terjadi praktek pragmatisme dalam kontestasi politik, sehingga publik mengasumsikan sebagai perlakuan khusus Negara kepada kandidat tertentu nampak terlihat secara kasat mata.
Indonesia mempunyai peristiwa sejarah panjang ketika rezim di kendalikan oleh orang yang tidak mempunyai kemampuan dalam perpolitikan dan ambisius, sehingga menggunakan segala macam cara
untuk mendapatkan apa yang diinginkan yang secara pengistilahan di sebut pragmatisme politik, maka arus demokrasi sedang berputar menuju demokrasi dan itu seburuk buruknya demokrasi menurut “plato”.
*Penulis merupakan Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sorong - Papua