INVIEW.ID | Opini - Pendidikan sejak awal di yakini sebagai wadah yang dapat mencerdaskan setiap manusia, serta berkontribusi memajukan kesejahteraan rakyat, membasmi kebodohan, melawan segala macam ketimpangan. Sebagaimana pula, telah ditegaskan dalam Preambule UUD 1945 Alinea ke-IV : “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Oleh karenanya, sejak awal konsensus bersama berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia adalah memfokuskan tentang pendidikan agar dapat merawat pertumbuhan ekonomi negara dan mengantarkan pada kesejahteraan maka pendidikan merupakan substansi dari garis perjalanan bangsa ini.
Hal yang sama adalah inspirasi ketika paulo Friere bapak pendidikan asal Brazil merubah wajah dunia dengan jalur pendidikan, Sehingga optimisme Ki Hajar Dewantara terhadap peran strategis pendidikan untuk perubahan membumi di setiap dimensi kehidupan.
Semenjak kemerdekaan, setiap ruang-ruang di isi dengan khazanah-khazanah pengetahuan, ramai di mana-mana pertengkaran ide dan gagasan. Bahkan, bapak proklamator dengan Gagah berani memperkenalkan Indonesia di mancanegara dengan kekuatan serta dorongan besar pendidikan yang sangat mendidik.
Maka secara sederhana, negara ini berdiri dengan satu tekad yang besar serta keyakinan yang kuat terhadap mukjizat (kemampuan) pendidikan. Akan tetapi, Seiring berjalannya waktu, praktik pendidikan seolah-olah menuai banyak kritikan, serta mengalami degradasi baik secara moral etika, maupun mental.
Praktik pendidikan tak lagi dibayangkan bagaikan mukjizat yang dapat merubah dunia, justru seolah-olah menjadi ruang hampa yang angker dan monoton, pada aturan-aturan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan kualifikasi akademis yang rasional.
Praktek pendidikan, condong mengajarkan soal moralitas yang relatif salah kaprah. Doktrin moralitas menjadi dogma yang di agung-agungkan, bahwa taat terhadap aturan adalah anak didik yang ideal, dan tunduk serta patut di bawa perintah dosen/guru dapat menunjang karir yang sukses. Sehingga, moralitas anak didik (siswa-mahasiswa) bagaikan tisu putih yang mudah terbang mengikuti arus angin.
Pendidikan Dunia Kampus
Kekritisan mustahil tumbuh pada proses pembelajaran, Mahasiswa mulai terlena dengan nilai bagus yang akan mengantarkan pada karir yang gemilang. Sehingga, kreativitas mahasiswa terbunuh semenjak berada di ruang kelas.
Karena memperoleh pengetahuan berdasarkan otoritas, maka hasil yang terjadi adalah “Mahasiswa Hukum di anggap sebagai bendera upacara, sementara hukum di khianati berulang kali”, “Mahasiswa Ekonomi di anggap sebagai bunga plastik, sementara ada banyak sekali kebangkrutan yang terjadi, dan korupsi meraja lelah dimana- mana”, “Mahasiswa politik yang seharusnya menjadi garda utama dalam melihat arus perpolitikan yang kurang merata, sementara banyak tikus-tikus berdasi sering keluar TV dengan menyandang gelar sebagai koruptor”, & “Mahasiswa sosiologi yang konon katanya dapat menjadi lokomotif gerakan dalam tatanan masyarakat, sementara banyak sekali hak-hak masyarakat di rampas oleh rezim”.
Begitu pula yang lainnya. Maka, tak berlebihan jika penulis mengatakan dosa terbesar atas setiap ketimpangan sosial yang terjadi adalah institusi pendidikan yang hari-hari ini kehilangan peran vitalnya dengan upaya membunuh setiap gerakan-gerakan mahasiswa.
Sebab, jika pendidikan bukan lagi tempat yang di idam-idamkan oleh mahasiswa, nuansa keilmuan perlahan-lahan mulai sirna, tidak ada lagi diskusi di emperan taman kampus, dan kedepannya figur aktivis mahasiswa akan hilang.
Karena fenomena demonstrasi di kampus, mahasiswanya di anggap kiri dan melakukan dialektika antar pemikiran seolah-seolah menjadi hal yang tabu. Maka substansi pendidikan sedang terkebiri dan pendosa nya adalah sistem atau pihak-pihak yang di berikan kewenangan untuk mengatur pendidikan dengan sedemikian munafiknya.[]
*) Penulis Merupakan Mahasiswa Sosiologi Unamin