Oleh: Sintia Rahayaan*
INVIEW.ID | Opini - Secara sederhana swing voters adalah kumpulan orang-orang yang selalu di perbincangkan dalam kontestasi politik, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengotori jarinya dengan tinta berwarna ungu di bilik suara dan selalu dicari tahu sebab musabab kumpulan orang-orang ini saat menjemput pesta demokrasi.
Sebagai negara hukum, maka memilih dan dipilih adalah hak konstitusional setiap orang yang mendiami sebuah Negara, sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang pasal 43 ayat (1 dan 2) undang undang nomor 39 tahun 1999. Maka salah satu diantara ke dua hak tersebut harus di ambil sebagai jaminan dari negara hukum.
Namun, alih-alih itu dijadikan sebagai hak istimewa (prerogatif), ada sebagian orang yang memilih tidak mengambil haknya. Sebab takut bila salah menaruh kepercayaan atau tidak percaya bahwa keputusan di bilik suara bisa mengubah kehidupannya beberapa tahun mendatang.
Ironi demikian diperlihatkan ketika menjemput momentum politik banyak orang yang memilih untuk tidak ikut serta dalam pesta demokrasi tersebut. Hal demikian relatif terjadi, karena konstruksi tersebut diakibatkan atas tindakan dari tiap-tiap aparat negara “penguasa” yang selalu memperlihatkan praktik politik culas dan kebablasan.
Survei Indikator politik memperlihatkan sejauh ini swing voters berkisar 30,5% yang akan di temukan jelang pesta demokrasi 2024 mendatang. Dilematik swing voters sering kali menjadikan rekam jejak sebagai barometer untuk memilih Ketika dilihat dari beberapa bakal capres. Dari rekam jejaknya masing-masing masih bisa di temukan alasan dari swing voters menduduki angka tertinggi dari kelompok pemilih lainnya.
Misalnya: jika kita berdalih bahwa negara ini adalah negara hukum dan hukum harus di tegakkan seadil-adilnya dan hukum harus dijadikan program prioritas, maka ada calon kandidat yang tidak layak dipilih, sebab mempunyai rekam jejak yang buruk di hadapan hukum.
Kemudian, jika kita berdalih bahwa negara ini adalah negara pluralis, Pancasilais, nasional, maka indentitas apapun tidak layak dijadikan kendaraan untuk mewujudkan kepentingan dalam perpolitikan. Karena hal tersebut sebetulnya hanya akan memecah-belah anak bangsa serta terindikasi merusak permainan dalam perpolitikan mendatang.
Selanjutnya adalah, ketika kita berdalih bahwa negara ini adalah negara yang beradab yang menjunjung tinggi adat ketimuran, maka memperlihatkan tontonan budaya kebaratan yang dinilai merusak moralitas anak bangsa. Tidak seharusnya di lakukan oleh calon pemimpin negara ketika ada calon kandidat yang terekam atau terindikasi menonton video porno sampai menjadi bumerang dan ramai diperbincangkan serta menjadi santapan publik.
Maka, alasan semakin meningkatnya swing voter dalam kontestasi politik 2024 adalah dosa para calon penguasa, sebab tidak mampu memberikan edukasi politik yang baik untuk anak bangsa berdasarkan rekam jejak saat menjadi penguasa atau pejabat publik.[]