Foto Manaf Rumodar |
Oleh: Manaf Rumodar
INVIEW.ID I OPINI- Lebih 30-50 tahun yang lalu masyarakat indonesia adalah masyarakat yang sangat kental dengan kultur budayanya entah budaya dalam seni beragama budaya dalam seni kehidupan sosial maupun budaya dalam seni memimpin.
Budaya Beragama
Budaya beragama mayoritas dari kita masyarakat nusantara yang meliputi sabang sampe meroke adalah berkeyakinan islam. Tapi kita pun tidak menolak hidup bersama saudara kita yang berbeda keyakinan. Hidup bersama tanpa memilah-milahkan nasab berIslam.
Sehinga terasa betul Islam rahmatanlil'alamin itu hidup dalam budaya keseharian kita pada umumnya. Namun dewasa ini budaya ini perlahan telah bergeser dari kehidupan bermasyrakat kita. Sehinga saling mengklaim keyakinan pun sudah mulai terlihat.
Kehadiran Politik praktis yang dimana baru menjadi konsep sarapan baru untuk masyaralat nusantara ini pun berunjung pada kehancuran budaya beragama. Yang dulunya ada kegiatan dimesjid kampung sebelah Dari kampung lain turut meramaikan namun sekarang ini yang kita dapatkan kampung lain tidak Mau ikut campur bahkan pada tingkat pelarangan. Konsep politik apa yang di bawa oleh teman-teman yang sedang berkontestan pada pilkada dan pilpres beberapa tahun terakhir ini.
Budaya dalam seni kehidupan sosial
Masyarakat kulit coklat yang hidup di nusantara dalam kehidupan bermasyarakatnya terlihat keras namun ramah dalam bertutursapa. Harga-menghargai adalah budaya leluhur yang masi melekat pada diri setiap individu masyrakat. Yang muda menghargai yang tua Dan yang tua pun menyayangi yang muda.
Hidup saling bergantung antara keluarga tetanga itu terlihat harmonis seakan pengantin baru yang sedang bahagia. Namun budaya ini mulai hilang Dan tak terlihat ketika masyarakat nusantara bersentuhan langsung dengan virus politik praktis dimana Masyaratkat nusantara tidak punya pengetahuan awal tentang hal ini. Namun di doktrin secara persuasif Masyaratkat dengan konsep politik demokrasi yang didalam demokrasi sendiri meliputi gotong royong yang dimana menjadi asas bermasyarakat.
Menyebarnya virus politik praktis ini budaya kehidupan bermasyrakat harga-menghargai ini sudah tidak Ada karna yang muda merasa pintar dan yang tua merasa lebih tau sehinga terjadi degradasi pada semboyan "BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA RUNTUH".
Peran politik praktis ini tidak sampai disini saja. Bahkan lebih mengerucut pada perpecahan dalam hubungan keluarga bahkan sampai pada perpecahan suami Dan istri yang berujung pisah ranjang karna berbeda pilihan.
Dalam kajian penulis, ini di sebabkan karna masyarakata kabupaten nusantara tidak memahami secara baik politik itu sendiri. Dan yang kedua para tokoh-tokoh politik di Negara Kesatuan Indonesia tidak memberikan education pengetahuan politik kepada masyarakat melainkan hanya berkampanye demi kepentingan politiknya. Dalam kajian Saya selaku penulis ini bagian Dari pada merusak tatanan masyarakat dan melakukan pembodohan masal untuk masyarakat.
Politik Praktis Merusak Budaya dan Seni
Peran politik praktis dalam merusak budaya dan seni memimpin. Pada umumnya Masyarakat nusantara adalah masyarakat Adat yang hidup di bawa kepemimpinan Raja-raja yang berpengaruh di daerahnya masing-masing jauh Sebelum berpolitik praktis Masyarakat secara status sosialnya jelas hidup dalam daerah jajaran raja yang dimana kultur leluhur Dan budaya itu selalu terawat oleh raja-raja ini. dan terlihat sangat berwibawah.
Saya lebih spesifik kepada raja yang menjadi pejabat politik. Raja yang berpolitik praktis akan kehilangan kewibawaanya jika sudah menjadi pejabat publik sebab di sana dia akan di bertemu dengan sejuta orang yang tidak memiliki latar belakang budaya dan kultur kerajaan yang sama. sehinga dengan datangnya konsep politik praktis jujur. Banyak Masyarakat orang tua bahkan anak kecil saja menyebut, memanggil jou/raja dengan namanya saja, bahkan seringkali Ada yang membully Raja.
Karna apa? Pada konsepnya dia terlibat dalam politik praktis dalam hal ini raja adalah raja dalam budaya bukan dalam politik. Namun dalam kajian penulis para tokoh-tokot adat ini semeatinya melepas dirinya Dari politik praktis sehinga kewibawaan itu tetap terjaga Dan kehormatanya pun kembali menjadi sakral di sebut di kalangan Masyarakat.
Saya mengingat kata soe hok gie “Politik ibaratkan Lumpur yang kotor dimana engkau memasukinya akan terbekas jejak mu pada Lumpur Dan pada dirimu”. Laksana Lumpul Adalah tanah yang di jahui oleh manusia sebab baunya Dan Kotornya. Kehadiran politik praktis yang dimana dalam kajian Saya sangat berdampak buruk sehinga perlunya pemerintah melakukan penyeluhan wawasan politik agar Masyarakat berpolitik tidak seperti berperang Antar kampung Antar tetanga dan berperang Antar saudara. Tetapi memahami politik sebagai proses memilih satu kepala daerah misalnya. Hanya sebatas itu bukan sebagai moment saling bermusuhan. []
Penulis Merupakan Ketua Komisariat Hukum HMI Cabang Sorong