Foto Anan Mujahid |
Oleh: Anan Mujahid*
INVIEW.ID | Opini - Di Indonesia, Mahkamah konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) diharapkan mampu mengawasi dan mengimbangi (check and balances) demi menjaga tegaknya konstitusi. Sebagai prinsip utama dalam konsep negara hukum yang demokratis.
Secara teoritis, keberadaan Mahkamah konstitusi adalah menjaga konstitusionalitas penyelenggaraan negara berdasarkan aturan dasar yang sebagaimana telah termaktub dalam pasal 24C ayat (1) dan ditegaskan kembali dalam UU no.24 tahun 2003 pasal 10, yang secara eksplisit mengatur tentang kewenangan mengadili ditingkat pertama & akhir, yakni: (a) Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD 1945; (c) Memberikan putusan terkait pembubaran partai politik; dan (d) Memberikan putusan terkait perselisihan mengenai hasil pemilihan umum.
Mahkamah konstitusi disebut sebagai “the guardian of constitution” dan “the sole judicial interpreter of constitution”, karena peran yang dimiliki tentunya sangat penting dalam mewujudkan peradilan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut Jimly Asshiddiqie fungsi ideal yang dimiliki oleh Mahkamah konstitusi, antara lain:
1.) Sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, serta memastikan UUD 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara dan subjek hukum, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab.
2.) Mahkamah konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi, satu-satunya penafsir resmi UUD 1945. Melalui fungsinya yang kedua ini MK berfungsi untuk menutupi segala kelemahan dan/atau kekurangan yang terdapat didalam UUD 1945.
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, tentunya diperlukan seorang hakim yang harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, bersikap adil dan mempunyai wawasan tentang konstitusi dan ketatanegaraan.
Agar menjadi seorang hakim konstitusi, calon hakim harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni: (a) warga negara Indonesia; (b) berpendidikan sarjana hukum; (c) berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan; (d) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (e) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan (f) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
Selain itu, terdapat pula larangan bagi hakim konstitusi untuk merangkap sebagai pejabat negara, anggota partai politik, pengusaha, advokat dan/atau pegawai negeri.
Meskipun telah diatur ketentuan yang sedemikian rupa, Mahkamah konstitusi juga tidak luput dari kontroversi yang menjadi sorotan publik. Telah diketahui bersama, pada 16 oktober 2023 Mahkamah konstitusi mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum, dan mulai berlaku pada pemilu 2024 yang akan datang.
Mahkamah konstitusi yang biasanya ketat dengan legal standing (kedudukan hukum) tiba-tiba menerima hanya dengan alasan pemohon adalah seorang pengagum walikota Solo. Menurut pemohon, walikota Solo patut diperjuangkan karena telah memajukan daerahnya dan untuk bisa lebih memajukan negeri ini harus menjabat sebagai presiden atau wakil presiden.
Walikota Solo yang belum mencapai usia 40 tahun, merupakan anak dari presiden republik Indonesia dan pasca putusan tersebut muncul beragam kritikan yang mempertanyakan Independensi Mahkamah konstitusi dan mulai meragukan integritas hakim konstitusi. Lalu, pada 22 Oktober 2023 Prabowo subianto mendeklarasikan Walikota Solo menjadi wakilnya dan siap bertarung dalam pemilu 2024 besok.
Konsekuensi dari putusan tersebut, tentunya telah merusak citra penegakkan hukum di indonesia dan secara terang-terangan Mahkamah konstitusi menampilkan praktik “politik dinasti”, dan semakin menambah krisis legitimasi seperti yang terjadi di lembaga legislatif dan eksekutif. Maka, tak heran jika saat ini banyak yang menyebut Mahkamah konstitusi sebagai “Mahkamah keluarga”.
*) Penulis Merupakan Mahasiswa hukum & Anggota LPM Honai