Notification

×

Iklan ok


 


Pengukuran Lahan Proyek di Flores Dikawal Ketat Aparat, Protes Warga Direspons dengan Represi

| Juni 22, 2023 WIB

Aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP Kabupaten Manggarai diduga melakukan kekerasan fisik saat menghadapi aksi penghadangan oleh warga yang menolak proyek geothermal Poco Leok


Flores | Ketegangan kembali terjadi di sekitar wilayah Lingko Tanggong, lahan ulayat milik warga Kampung Lungar, Poco Leok sejak Selasa, 20 Juni 2023.


Puluhan warga adat dari Kampung Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako menghadang petugas PT Perusahaan Listrik Negara [PLN], Badan Pertanahan Nasional [BPN], juga kelompok warga pro proyek geothermal yang hendak melakukan pematokan lahan di tanah ulayat tersebut, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran yaitu well pad D.


Dilansir dari Floresa, puluhan warga sudah berkumpul di Meter, jalan masuk menuju Lingko Tanggong pada pukul 08.00 Wita  untuk menghadang aktivitas pematokan dan pemasangan pilar di atas lahan ulayat tersebut, juga agar petugas PLN, BPN, dan warga pro yang dimobilisasi dari luar Poco Leok tidak masuk ke lokasi melalui lahan milik mereka.


Warga tersebut kemudian terlibat bentrokan dengan aparat di sekitar lokasi, yang menurut mereka sudah menyalahi prinsip bahwa aktivitas apapun yang berkaitan dengan lingko harus melalui kesepakatan komunitas adat di Mbaru Gendang (rumah adat).


Dalam bentrokan fisik tersebut, tercatat ada empat orang warga perempuan dan lima orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan.


Seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh polisi.


“Kami menghadang mereka supaya tidak lewat di lahan kami ketika hendak mematok lahan untuk geothermal, tetapi kami didorong sampai terjatuh,” ungkap Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar.


“Mereka [polisi] bahkan membantu perusahaan tanam pilar di wilayah lingko dan kami merasa itu adalah pengkhianatan aparat terhadap warga,” tambahnya.


Setelah kejadian itu, Lahus kemudian sempat menggelar aksi protes dengan melepaskan pakaiannya, lalu menutup dadanya dengan jaket.


Ia lalu tampil di bagian depan, menghadang aparat polisi, TNI, dan Pol PP.


“Kami mau tunjukkan bahwa polisi sudah keterlaluan,” ungkap Wihelmina Sesam, perempuan yang bersama Lahus menjadi korban kekerasan aparat.


Tindakan represif aparat tersebut juga terjadi pada Rabu, 21 Juni, yang menyebabkan belasan warga mengalami sakit fisik, hingga dua orang pingsan dan dilarikan ke Puskesmas Ponggeok, Kecamatan Satar Mese, empat kilometer sebelah barat Poco Leok.


Ponsianus Nogol, warga Gendang Tere, mengatakan, “hari ini kami saksikan sendiri bahwa bukan hanya PLN yang bekerja memasang pilar, tetapi justeru polisi yang paling banyak berperan.”


Pada Rabu pukul 14.00 Wita, Ponsi bersama warga lainnya ikut mengadang mobil polisi yang hendak masuk ke Lingko Tanggong, membawa pilar-pilar yang akan dipasang di sana.


Korida Jehanut, perempuan asal Lungar, mengatakan bahwa polisi yang seharusnya mengamankan situasi malah membiarkan saudara-saudari mereka mengalami kekerasan, juga memfasilitasi pemasangan pilar di lahan ulayat.


Ponsianus mengatakan protes warga tidak hanya bertujuan melarang mereka masuk melalui lahan milik penolak proyek, tetapi juga secara lebih serius berkaitan dengan martabat “Gendang’n one, Lingko’n peang” [keterhubungan antara rumah adat dan tanah ulayat]. (Sumber: Floresa.co)

×
Berita Terbaru Update