Oleh: Zulfadhli Nurdin, Juru bicara DPW Muda Seudang Aceh Utara |
ACEH UTARA, INVIEW.ID - Pasca perdamaian setelah berkonflik puluhan tahun antara GAM dan pemerintah RI masih menyisakan berbagai persoalan, mulai dari implementasi MOU Helsinki yang tidak jelas hingga persoalan Pelanggaran HAM berat yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah Pusat.
Hal ini menimbulkan keraguan berbagai kalangan di Aceh, Apakah pemerintah serius atau tidak untuk menyelesaikan persoalan yang ada di bumi rencong tersebut. Baik terkait implementasi MOU Helsinki atau penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh, Sabtu (24/6/2023
Setidaknya ada 12 pelanggaran HAM berat yang diakui oleh presiden Joko Widodo pada 11 Januari. 3 diantaranya berada di Aceh yaitu, tragedi rumoh Geudong, tragedi simpang KKA dan tragedi jamboe keupok.
Padahal ada banyak pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh diantaranya peristiwa gedung KNPI Lhokseumawe, tragedi Arakundoe, tragedi pembantaian Tgk bantaqiah di Beutong Ateuh, Tragedi buket tengkorak, pembunuhan aktivis RATA, pembunuhan aktivis HAM Jafar Siddiq dan berbagai peristiwa lain yang sampai saat ini tidak ada pengusutan dan penyelesaiannya sehingga masih menyisakan luka bagi rakyat Aceh.
Kabar Jokowi akan hadir di Rumoh Geudong, desa Bili Pidie pada 27 Juni menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak di Aceh. Bagaimana tidak kehadiran Presiden Jokowi tersebut di awali dengan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong yang sudah dilakukan sejak Selasa 20 Juni atas instruksi PJ Bupati Pidie.
Pemerintah berusaha penghancuran sisa fisik bangunan Rumoh Geudong ini dilakukan agar korban dapat melupakan tragedi dan luka masa lalu. Sejatinya ini adalah upaya sistematis dari pemerintah untuk menghilangkan bukti pelanggaran HAM pemerintah terhadap rakyat Aceh di masa lalu. Dengan dalih akan di bangun masjid di atas bekas Rumoh Geudong tersebut.
Kehadiran Jokowi tersebut terasa tidak penting terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh atau bahkan terkesan hanya mewarisi luka lama dan menambah luka baru hal ini terbukti dengan dilakukannya penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong.
Upaya Jokowi untuk membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) juga memang problematis. Selain diisi oleh terduga pelaku pelanggaran HAM arah kerja dari tim ini begitu mudah ditebak karena kewenangan begitu terbatas sebagaimana diatur dalam Ketetapan Presiden (Kepres).
Tim ini dibentuk hanya ditujukan pada aspek non yudisial saja seperti halnya pemulihan dan rehabilitasi, tanpa dibarengi keadilan substansial akuntabilitas penegakan hukum upaya pengungkapan kebenaran dan jaminan tidak berulangnya peristiwa di masa mendatang.
Langkah negara yang mengiming-imingi ganti rugi berupa materiil tentu saja sangat menggiurkan. Di sisi lain, pro-kontra juga terus terjadi. Kejahatan yang sifatnya sistematik dan meluas tidak dapat disimplifikasi. Proses penyelesaiannya, termasuk pada aspek pemulihan harus bersesuaian dengan prinsip yang telah digariskan dunia internasional.
Upaya untuk menghadirkan effective remedies harus diupayakan secara maksimal untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran ham berat di Aceh, bukan hanya pemberian bantuan sosial. Pemulihan termasuk restitusi, rehabilitasi dan kepuasan, seperti permintaan maaf publik.
Peringatan publik, jaminan tidak terulangnya dan perubahan dalam undang-undang dan praktik yang relevan, serta mengadili para pelaku kejahatan dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjamin bahwa reparasi tersebut harus diberikan secara cepat, tepat, proporsional.(Red)