Oleh : Asni Leliana & Muhammad Firdaus, BA., MA., Ph.D |
JAKARTA - Bila ditelusuri perkembangan tentang maqashid al-syari’ah, maka diketahui bahwa perhatian terhadap maqashid al-syari’ah ini telah ada sejak masa Rasulullah Saw. Meskipun ketika itu belum menyebut tema maqashid al-syari’ah secara jelas.
Tetapi setidaknya maqashid al-syari’ah telah memberikan warna dan kontribusi yang dapat dijadikan ukuran bagi legislasi hukum Islam sesuai dengan tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (dar’u al- mafasid wa jalbu al-manafi’).
Sebagai contoh, dapat ditelaah tentang anjuran Nabi saw. kepada para pemuda yang sudah memiliki kemampuan untuk segera menikah.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, penelaahan terhadap Maqashid Al-syari`ah mulai mendapat perhatian yang intensif setelah Rasulullah wafat, terutama ketika para sahabat dihadapkan dengan berbagai persoaalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw masih hidup.
Dengan adanya perubahan social sebagai akibat tuntunan zaman dan dinamika masyarakat, sehingga menuntut kratifitas para sahabat secara serius untuk melakukan penelaahan terhadap Maqashid Al-syari`ah sebagai upaya melakukan terobosan-terobosan hukum untuk mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi.
Di antara para sahabat Nabi saw yang paling sering melakukan kreasi dalam bidang hukum sebagai implikasi dari perubahan sosial itu adalah umar Ibn al-Khatab. Salah satu contoh yang sering dikemukakan oleh para ulama ushul adalah tentang pengucapan talak tiga sekaligus.
Pada masa Nabi saw dan masa Abu Bakar dan di awal pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab penjatuhan talak tiga sekaligus dihitung satu. Akan tetapi waktu itu, Umar Ibn Al-Khatab memutuskan kamu telah mampu berkeluarga hendaklah kawin, karena ia dapa tmenundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu”, Muttafaq ‘alaihi.
Ada beberapa hadits lain yang dianggap memiliki muatan, maqashid al-syari’ah, seperti hadits yang berisikan tentang perintah Nabi untuk menyimpan daging qurban, hadis larangan ziarah kubur pada awal-awal Islam, dan lain-lain.
Sebenarnya masih banyak kreatifitas sahabat yang lain melakukan trobosan untuk menghadapi perubahan social yang terjadi sepeninggalan Nabi Muhammad saw., namun dalam kesempatan ini penulis hanya mengemukakan salah satu contoh dari umar Ibn Al-khatab.
bahwa penjatuhan talak tiga sekaligus itu dianggap thalaq tiga. Keputusan Umar Ibn AlKhatab ini adalah untuk menutup terjadinya peluang tindakan semena-mena para suami yang waktu itu seringkali berbuat sewenang-wenang menjatuhkan thalaq kepada istri-istrinya.
Selain itu juga, untuk menjaga eksistensi fungsi talak itu sendiri dan mengembalikan kepada fungsi yang sebenarnya, yakni talak sebagai hak suami tidak diselewengkan sebagai alat menganiaya istri. Dengan demikian, pertimbangan hukum yang dilakukan Umar Ibn Al-Khatab di atas, sesuai dengan Maqashid Al-syari’ah.
Karena itu, ijtihad Umar Ibn Al-Khatab ini sesuai dengan adagium fikih yang menyatakan bahwa “perubahan suatu fatwa tergantung kepada perubahan zaman, keadaan, dan kebiasaan masyarakat itu.
Fungsi dan tujuan dari penetapan hukum yang sering dikenal dengan istilah Maqashid alSyariah adalah salah satu konsep penting dalam memahami kajian hukum Islam.
Secara signifikan, para sarjana hukum menjadikan maqashid alsyariah sebagai suatu knowledge yang harus dipahami dalam melakukan ijtihad. Salah satu inti dari maqashid syariah adalah untuk membangun kebaikan dan menghidarkan keburukan. Maksud lain dari maqashid syariah adalah maslahat, karena pada dasarnya penetapan hukum dalam Islam bersumber pada maslahat.
Di samping itu, Asafri Jaya seorang ilmuan hukum memandang maqashid syariah sebagai tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penetapan hukum.
Perhatian ulama pada maqāṣid al-sharī‘ah sebenarnya telah ada sebelum masa imam al-Shāṭibī, bahkan maqāṣid al-sharī‘ah pada masa Rasulullah pun sudah ada walaupun dalam bentuk embrio.
Adapun yang secara formal membahas maqāṣid al-sharī‘ah juga terjadi perbedaan di antara ulama atau penstudi. Dalam tulisan ini orang yang pertama kali memperhatikan tentang maqāṣid al-sharī‘ah ini adalah Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 96 H) dari kalangan Tabi’īn.
Ia pernah mengatakan bahwa setiap hukum Allah memiliki tujuan-tujuan tertentu berupa kemaslahatan untuk manusia sendiri.
Berbicara soal konsep dan gambaran pelaksanaan maqasidh Al-Syari’ah sebenarnya meliputi hal-hal yang bersifat kontemporer dan terkemuka.
hanya saja penjabaran dan perhitungan hukumnya tersebut sangatlah rumit dan memakan waktu yang lebih banyak dalam proses penyusunan suatu hukum tersebut, mesti menerapkan konsep yang fluktiatif dengan mengedepankan aspek kesilaman sebagai model utama dalam menegakkan maqashid syari’ah atas pergolakan kehidupan saat ini.(Rizki M)